Landasan Ilmu Pendidikan
Ditulis pada: July 20, 2022
Landasan Ilmu Pendidikan - Setelah Anda memahami konsep dan rasional ilmu pendidikan, pembahasan kita selanjutnya adalah mengenai landasan ilmu pendidikan. Anda pasti tidak asing lagi dengan kata “landasan” bukan? landasan mengandung arti sebagai dasar atau tumpuan. Istilah landasan dikenal pula sebagai fondasi. Mengacu pada arti kata tersebut maka dapat dipahami bahwa landasan merupakan suatu dasar pijakan atau fondasi tempat berdirinya sesuatu.
Berdasarkan sifatnya, landasan dibedakan menjadi dua jenis yaitu landasan yang bersifat material dan konseptual (Robandi, 2005: 1). Landasan material lebih bersifat fisik atau berwujud seperti sarana prasarana, peserta didik, dan lingkungan, sedangkan landasan konseptual lebih bersifat asumsi atau teori-teori, contohnya adalah UUD 1945 dan teori pendidikan.
Landasan Ilmu Pendidikan
Dengan berpegang teguh pada landasan pendidikan yang kokoh, setidaknya kesalahan-kesalahan konseptual dalam pendidikan yang merugikan dapat dihindari, sehingga pada praktiknya pendidikan dapat berjalan sebagaimana fungsinya dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam praktik pendidikan, sebagai pendidik profesional semestinya mampu melaksanakan peranan sesuai semboyan “tut wuri handayani”.
Untuk itu para guru idealnya memahami dan meyakini asumsi-asumsi dari semboyan tersebut. Sebab jika tidak, sekalipun tampaknya pendidik tersebut seperti melaksanakan peranan sesuai semboyan “tut wuri handayani” namun perbuatannya tidak mencerminkan daris emboyan tersebut. Bahkan mungkin bersikap bertentangan, misalnya pendidik tidak menghargai perbedaan dan keunikan yang dimiliki oleh peseta didik dan merasa sebagai penguasa tunggal dalam pembelajaran.
Sebaliknya, jika pendidik memahami dan meyakini asumsi-asumsi dalam semboyan “tut wuri handayani”, yaitu kodrat alam dan kebebasan siswa, maka pendidik akan dengan sadar dan mantap melaksanakan peranannya. Berdasarkan contoh tersebut jelas kiranya bahwa asumsi atau landasan pendidikan akan berfungsi sebagai titik tolak atau acuan bagi para pendidik professional dalam melaksanakan praktik pendidikan.
Pada bagian ini, Anda akan belajar mengenai macam-macam landasan konseptual ilmu pendidikan yang terdiri dari landasan filosofis, landasan empiris, yuridis, dan landasan religi.
1) Landasan Filosofis
Landasan filosofis pendidikan adalah pandangan-pandangan yang bersumber dari filsafat pendidikan mengenai hakikat manusia, hakikat ilmu, nilai serta perilaku yang dinilai baik dan dijalankan setiap lembaga pendidikan. Filosofis artinya berdasarkan filsafat pendidikan (Umar & Sulo 2010: 97). Filsafat (philosophy) berasal dari kata philos dan shopia.
Philos berarti cinta dan shopia berarti kebijaksanaan, pengetahuan dan hikmah dalam Rukiyati (2015: 1). Filsafat menelaah sesuatu secara radikal, menyeluruh dan konseptual yang menghasilkan konsepsi-konsepsi mengenai kehidupan dan dunia.
Dalam pendidikan yang menjadi pokok utama adalah manusia, maka landasan filosofis pendidikan adalah untuk menjawab apa sebenarnya hakikat manusia. Berdasarkan sudut pandang pedagogik, sebagaimana dikemukakan oleh M.J Langeveld (1980) pendidikan berlangsung dalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak atau orang yang belum dewasa dalam suatu lingkungan.
Anak atau orang yang belum dewasa adalah sebagai sesuatu “kemungkinan” yang pada dasarnya baik.
Menurut Langeveld dalam perjalanannya manusia bisa menjadi baik atau tidak baik, sehingga pendidikanlah yang memiliki andil untuk menjadikannya baik.
Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik (pedagogik) dan ke arah yang positif. Pendidikan sama sekali bukan untuk merusak kepribadian anak atau membawa mereka ke arah yang negatif seperti memberi bekal pengetahuan atau keterampilan bagaimana menjadi penjahat, pencuri dan sebagainya (demagogik).
Teori-teori pendidikan seperti essensialisme, behaviorsisme, perenialisme, progresivisme, rekronstruktivisme dan humanisme merupakan teori yang berdasarkan pada filsasat tertentu yang akan mempengaruhi konsep dan praktik pendidikan (Umar & Sulo 2010: 88).
Esensialisme merupakan mahzab filsafat pendidikan yang menerapkan prinsip idealisme dan realisme secara eklektis. Berdasarkan eklektisme tersebut maka esensialisme menitik-beratkan penerapan prinsip-prinsip idealisme atau realisme dengan tidak meleburkan prinsip-prinsipnya.
Filsafat idealisme memberikan dasar tinjauan yang realistis seperti dalam bidang matematika, karena matematika adalah alat menghitung dari apa-apa yang riil, materiil dan nyata.
Perenialisme hampir sama dengan essensialisme, tetapi lebih menekankan pada keabadian atau ketetapan atau kenikmatan yaitu hal-hal yang ada sepanjang masa (Imam Barnadib 1988:34).
Perenialisme mementingkan hal-hal berikut:
(a) pendidikan yang abadi;
(b) inti pendidikan yaitu mengembangkan keunikan manusia yaitu kemampuan berfikir;
(c) tujuan belajar yaitu untuk mengenal kebenaran abadi dan universal;
(d) pendidikan merupakan persiapan bagi hidup yang sebenarnya;
(e) kebenaran abadi diajarkan melalui pelajaran dasar yang mencakup bahasa, matematika, logika dan IPA dan Sejarah.
Progresivisme yaitu perubahan untuk maju. Manusia akan mengalami perkembangan apabila berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya berdasarkan pemikiran. Progresivisme atau gerakan pendidikan progresif mengembangkan teori pendidikan yang berdasar pada beberapa prinsip.
Progresivisme menggunakan prinsip pendidikan sebagai berikut :
(a) Proses pendidikan ditemukan dari asal, tujuan dan maksud yang ada pada siswa termasuk di dalamnya minat siswa;
(b) siswa itu aktif bukan pasif;
(c) peran guru sebagai penasehat, pemberi petunjuk, dan mengikuti keinginan siswa, bukan otoriter dan direktur di kelas;
(d) sekolah merupakan bentuk kecil dari sebuah masyarakat;
(e) aktifitas kelas berpusat pada problem solving bukan mengajarkan berbagai mata pelajaran;
(f) suasana sosial kelas kooperatif dan demokratis.
Rekonstruksionalisme adalah suatu kelanjutan yang logis dari cara berpikir progesif dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini di sekolah tetapi haruslah mempelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan.
Dalam pengertian lain, rekonstruksionisme adalah mahzab filsafat pendidikan yang menempatkan sekolah atau lembaga pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat.
Behaviorisme memiliki beberapa akar atau sumber ideologi atau filsafat yaitu realisme dan positivisme. Behaviorisme pendidikan memandang perilaku siswa ditentukan oleh stimulus dan respon. Tokoh dari konsep ini adalah Pavlov, Skinner dan Thorndike.
Humanisme merupakan kelanjutan dari prinsip progresivisme karena telah menganut banyak prinsip dari aliran tersebut seperti pendidikan yang berpusat pada siswa, guru tidak otoriter fokus terhadap aktivitas dan partisipasi siswa.
Pancasila sebagaimana yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan landasan filosofis pendidikan Indonesia (Arif Rohman, 2013). Hakikat hidup Bangsa Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan perjuangan yang didorong oleh keinginan luhur untuk mencapai dan mengisi kemerdekaan, selanjutnya yang menjadi keinginan luhur Bangsa Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal 2 Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang “Sistem Pendidikan Nasional” menjelaskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tujuan pendidikan Bangsa Indonesia yaitu pembentukan manusia Indonesia yang ideal yaitu manusia seutuhnya yang diwarnai oleh sila-sila Pancasila. Manusia ideal adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tujuan ini mengoperasionalkan manusia Indonesia seutuhnya dan juga mengoperasionalkan wujud sila-sila dalam diri peserta didik. Perlu ditegaskan bahwa pengamalan Pancasila dalam bidang pendidikan seharusnya menyeluruh dan utuh mencerminkan lima sila dalam Pancasila sebagai yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Sedangkan ketetapan MPR RI No II/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar Negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud Bangsa Indonesia dan masyarakat yang dianggap baik. Sumber dari seluruh sumber nilai yang diyakini menjadi pangkal serta bermuaranya setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan. Dengan kata lain, pancasila sebagai sumber sistem nilai dalam pendidikan.
Seperti kita ketahui bahwa pendidikan itu memiliki objek telaah, bertujuan, memiliki kegiatan dan metode, yang secara detail dibahas dalam filsafat ontologi, aksiologi dan epistemologi. Secara ontologi pendidikan memiliki objek telaah yang riil yaitu manusia.
Ontologi sendiri diartikan sebagai suatu cabang filsafat atau ilmu yang mempelajari suatu yang ada atau berwujud berdasarkan logika sehigga dapat diterima oleh akal manusia yang bersifat rasional dapat difikirkan dan sudah terbukti keabsahaanya. Aspek ontologi dari pendidikan haruslah diuraikan secara metodis, sistematis, koheren, rasional, komprehensif, radikal, serta universal.
Jika dilihat dari sudut pandang filsafat aksiologi, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan ke arah yang positif. Aksiologi sendiri dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tujuan ilmu pengetahuan atau hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan.
Aksiologi juga dipahami sebagai teori nilai yang menggunakan penilaian etika dan estetika. Etika berfokus pada perilaku, norma dan adat istiadat manusia, sedangkan estetika membahas tentang nilai keindahan. Suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Epistemologi merupakan bagian dari filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Objek material epistimologi adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakekat pengetahuan. Landasan epistimologi pendidikan adalah pandangan-pandangan yang bersumber dari cabang filsafat epistimologi yang disebut juga teori mengetahui dan pengetahuan (Kadir, 2015).
Epistimologi erat kaitannya dengan pendidikan khususnya untuk kegiatan belajar mengajar di kelas. Epistimologi membahas konsep-konsep dasar yang sangat umum dari proses mengetahui sehingga erat kaitannya dengan metode pengajaran dan pembelajaran.
Guru-guru di dalam kelas memberikan berbagai jenis pengetahuan sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing. Dalam praktik pembelajaran alangkah baiknya apabila guru mengetahui berbagai jenis pengetahuan yang diberikannya, apa sumber pengetahuan tersebut dan bagaimana tingkat kepercayaan terhadap pengetahuan tersebut. Hal ini akan membantu guru untuk menyeleksi bahan ajar dan penekananya pada materi tertentu dalam mengajar.
Terdapat empat jenis pengetahuan menurut taksonomi Bloom (Lorin W Anderson & David R. Krathwohl, 2010). Jenis-jenis pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif. Pengetahuan faktual meliputi elemen-elemen dasar yang harus diketahui siswa ketika akan mempelajari disiplin ilmu atau menyelesaikan masalah dalam disiplin ilmu tersebut.
Pengetahuan faktual terdiri dari dua sub jenis:
(a) Pengetahuan tentang terminologi. Pengetahuan ini melingkupi pengetahuan tentang label dan simbol verbal dan nonverbal (misalnya, kata, angka, tanda dan gambar),
(b) Pengetahuan tentang detail-detail dan elemen-elemen yang spesifik. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan tentang peristiwa, lokasi, orang, tanggal, sumber informasi dan semacamnya. Pengetahuan ini meliputi informasi yang mendetail dan spesifik.
Pengetahuan konseptual mencakup pengetahuan tentang kategori, klasifikasi dan hubungan antar dua atau lebih kategori atau klasifikasi pengetahuan yang lebih kompleks dan tertata. Pengetahuan konseptual meliputi skema, model mental, atau teori yang implisit atau eksplisit dalam beragam model psikologi kognitif.
Pengetahuan konseptual terdiri dari tiga sub jenis:
(a) Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori. Pengetahuan ini meliputi kategori, kelas, divisi dan susunan yang spesifik dalam disiplin-disiplin ilmu. Perlunya klasifikasi dan kategori dapat digunakan untuk menstrukturkan dan mensistematisasikan fenomena. Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori lebih umum dan sering lebih abstrak daripada pengetahuan tentang terminologi dan fakta-fakta yang spesifik.
(b) Pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi. Prinsip dan generalisasi dibentuk oleh klasifikasi dan kategori. Umumnya merupakan bagian yang dominan dalam sebuah disiplin ilmu dan digunakan untuk mengkaji fenomena atau menyelesaikan masalah-masalah dalam disiplin ilmu tersebut. pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi mencakup pengetahuan tentang abstraksi-abstraksi tertentu yang meringkas hasil-hasil pengamatan terhadap suatu fenomena.
(c) Pengetahuan tentang teori, model, dan struktur. Pengetahuan ini meliputi pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi serta antara keduanya yang menghadirkan pandangan yang jelas, utuh dan sistemik tentang sebuah fenomena, masalah, atau materi kajian yang kompleks. Pengetahuan tentang teori, model, dan struktur mencakup pengatahuan tentang berbagai paradigma, epistemologi, teori dan model yang digunakan dalam disipin-disiplin ilmu untuk mendeskripsikan, memahami, menjelaskan dan memprediksi fenomena.
Pengetahuan prosedural meliputi bagaimana melakukan sesuatu, mempraktikkan metode-metode penelitian, dan kriteriakriteria untuk menggunakan ketrampilan, algoritma, teknik dan metode. Pengetahuan prosedural bergulat dengan pertanyaan “bagaimana”, dengan kata lain pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan tentang beragam proses. Pada pengetahuan ini terdiri dari tiga subjenis:
(a) Pengetahuan tentang keterampilan dalam bidang tertentu dan algoritme.
(b) Pengetahuan tentan teknik dan metode dalam bidang tertentu. Pengetahuan ini mencakup pengetahuan yang umumnya merupakan hasil konsensus, kesepakatan atu ketentuan dalam disiplin ilmu, bukan hasil pengamatan atau eksperimen atau penemuan langsung. Pada umumnya pengetahuan ini menunjukkan bagimana para ilmuan dalam bidang mereka berpikir dan menyelesaikan masalah-masalah, bukan hasil penyelesaian masalah atau pemikiran.
(c) Pengetahuan tentang kriteria untuk menentukan kapan harus menggunakan prosedur yang tepat.
Pengetahuan metakognitif meliputi pengetahuan tentang kognisi secara umum dan kesadaran dan pengeahuan tentang kognisi diri sendiri. Pada pengetahuan ini meliputi tiga subjenis.
(a) Pengetahuan strategis. Pengetahuan strategis merupakan pengetahuan perihal strategi-strategi belajar dan berpikir serta pemecahan masalah. Pengetahuan ini mencakup strategi-strategi umum umum untuk menyelesaikan masalah (problem solving) dan berpikir.
(b) Pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif. (c) Pengetahuan diri. Pengetahuan ini mencakup pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri sendiri dalam kaitannya kognisi dan belajar.
2) Landasan Yuridis
Landasan yuridis pendidikan adalah aspek-aspek hukum yang mendasari dan melandasi penyelenggaraan pendidikan (Arif Rohman, 2013). Pendidikan tidak berlangsung dalam ruang hampa melainkan ada dalam lingkungan masyarakat tertentu dengan norma dan budaya yang melekat di dalamnya.
Oleh karena itu, pendidikan melekat pada masyarakat, kemudian masyarakat tersebut menginginkan pendidikan yang sesuai dengan latar belakangnya. Supaya pendidikan tidak melenceng dari jalurnya maka perlu diatur dalam regulasi yang berlaku di masyarakat/negara. Sistem pendidikan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dijabarkan dalam peraturan-peraturan hukum lainnya seperti, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, ketetapan MPR.
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lain. Aturan sistem pendidikan tersebut tetap didasarkan pada falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Berikut ini beberapa landasan hukum sistem pendidikan di Indonesia (Hasbullah, 2008):
a) Pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan Nasional
(1) Ayat 1 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
(2) Ayat 2 menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Ayat 3 menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
(4) Ayat 4 menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Ayat 5 menyatakan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia
b) Undang-Undang tentang pokok pendidikan dan kebudayaan
(1) UU No 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1 dan 2
(a) Ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
(b) Ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan nasional ialah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1045 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
(2) UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini memuat 84 pasal tentang ketentuan profesi guru dan dosen di Indonesia
(3) UU No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
c) Peraturan Pemerintah
(1) Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
(2) Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2006 tentang standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
(3) Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan.
(4) Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 Tentang Guru.
(5) Peraturan Menteri No. 13 Tahun 2007 Tentang Kepala Sekolah.
(6) Peraturan Menteri No 16 Tahun 2007 dan No 32 Tahun 2008 tentang Guru.
(7) Peraturan Menteri No 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan.
(8) Peraturan Menteri No 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian.
(9) Peraturan Menteri No 24 Tahun 2007 dan Permen No. 33 Tahun 2008 tentang Standar Sarana dan Prasarana.
(10) Peraturan Menteri No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.
(11) Peraturan Menteri No 47 Tahun 2008 tentang Standar Isi.
(12) Peraturan Menteri No 24 Tahun 2008 tentang TU.
(13) Peraturan Menteri No 25 Tahun 2008 tentang Perpustakaan.
(14) Peraturan Menteri No 26 Tahun 2008 tentang Laboratorium.
3) Landasan Empiris
a) Landasan Psikologis
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala kejiwaan yang ditampakkan dalam bentuk perilaku baik manusia ataupun hewan, yang pemanfaatannya untuk kepentingan individu atau manusia baik disadari ataupun tidak, yang diperoleh melalui langkah-langkah ilmiah tertentu serta mempelajari penerapan dasar-dasar atau prinsip-prinsip, metode, teknik, dan pendekatan psikologis untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah dalam pendidikan (Santrock, 2017).
Proses kegiatan pendidikan melibatkan kegiatan yang menyangkut interaksi kejiwaan antara pendidik dan peserta didik dalam suasana nilai- nilai budaya suatu masyarakat yang didasarkan pada nilia-nilai kemanusiaan. Pendidikan selalu melibatkan aspek-aspek yang tidak dipisahkan satu sama lain yaitu aspek kejiwaan, kebudayaan, kemasyarakatan, norma-norma, dan kemanusiaan.
Landasan psikologi dalam pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari studi ilmiah tentang kehidupan manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu untuk mengenali dan menyikapi manusia yang bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan (Robandi, 2005:25).
Pendidikan harus mempertimbangkan aspek psikologi peserta didik sehingga peserta didik harus di pandang sebagai subjek yang akan berkembang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Sekurang-kurangnya terdapat tiga prinsip umum perkembangan peserta didik sebagai manusia yaitu (1) perkembangan setiap individu menunjukan perbedaan dalam kecepatan dan irama; (2) perkembangan berlangsung relatif, teratur dan (3) perkembangan berlangsung secara bertahap.
Landasan psikologi pendidikan mencakup dua ilmu yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan adalah ilmu-ilmu yang mempelajari tingkah laku individu dalam perkembangannya meliputi perkembangan fisik, psikologi, sosial, emosional, emosi dan moral.
Terdapat tiga teori pendekatan tentang perkembangan menurut Syaodih (2004) yaitu (1) Pendekatan Pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain. (2) Pendekatan Diferensial. Pendekatan ini memandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan.
Atas dasar ini lalu orang membuat kelompok-kelompok. Anak-anak yang memiliki kesamaan dijadikan satu kelompok. Maka terjadilah kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, agama, status sosial ekonomi, dan sebagainya. (3) Pendekatan Ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja disebut sebagai pendekatan individual (melihat perkembangan seseorang secara individual).
Dari ketiga pendekatan ini, yang paling banyak dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada dua macam yaitu yang bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus. Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan. Sedangkan yang bersifat khusus hanya mempertimbangkan faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.
Menurut Piaget terdapat empat perkembangan kognisi anak (Budingsih, 2004) yaitu (1) periode sensori motor pada usia 0-2 tahun, pada usia ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks (2) periode praoperasonal yaitu usia 2-7 tahun, perkembangan bahasa pada usia ini sangat pesat, peranan intuisi dalam memutuskan sesuatu masih besar, (3) periode operasi konkret usia 7-11 tahun, anak sudah dapat berpikir logis, sistematis dan memecahkan masalah yang bersifat konkret.
(4) Periode operasi formal usia 11-15 tahun anak-anak sudah dapat berpikir logis terhadap masalah baik yang bersifat konkret maupun abstrak. Anak pada tahap ini dapat membentuk ide-ide dan masa depannya secara realistis. Selanjutnya menurut Bruner (Budiningsih, 2004) perkembangan kognisi anak meliputi (1) tahap enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivias dalam upaya memahami lingkungan. (2) tahap ikonik, anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualiasi verbal. (3) tahap simbolik, anak telah memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
Perkembangan kognisi menurut Lawrence Kohlberg (Syaodih, 2004) yaitu:
(1) Tingkat Prekonvensional
(a) Tahap orientasi kepatuhan dan hukuman, seperti kebaikan, keburukan, ditentukan oleh orang itu dihukum atau tidak.
(b) Tahap orientasi egois yang naif, seperti tindakan yang betul ialah yang memuaskan kebutuhan seseorang.
(2) Tingkat Konvensional
(a) Tahap orientasi anak baik, seperti perilaku yang baik adalah bila disenangi orang lain.
(b) Tahap orientasi mempertahankan peraturan dan norma nanasosial, seperti perilaku yang baik ialah yang sesuai dengan harapan keluarga, kelompok atau bangsa.
(3) Tingkat Post-Konvensional
(a) Tahap orientasi kontrak sosial yang legal, yaitu tindakan yang mengikuti standar masyarakat dan mengkonstruksi aturan baru.
(b) Tahap orientasi prinsip etika universal, yaitu tindakan yang melatih kesadaran mengikuti keadilan dan kebenaran universal.
Terdapat delapan tahap perkembangan Afeksi menurut Erikson yaitu (1) bersahabat versus menolak pada umur 0 -1 tahun, (2) otonomi versus malu dan ragu-ragu pada umur 1 -3 tahun, (3) Inisiatif versus perasaan bersalah pada umur 3 -5 tahun (4) Perasaan Produktif versus rendah diri pada umur 6 -11 tahun, (5) Identitas versus kebingungan pada umur 12 – 18 tahun, (6) Intim versus mengisolasi diri pada umur 19 – 25 tahun, (7) Generasi versus kesenangan pribadi pada umur 25 – 45 tahun, (8) Integritas versus putus asa pada umur 45 tahun ke atas.
Psikologi belajar membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi individu belajar dan bagaimana individu belajar yang dikenal dengan istilah teori belajar (Pidarta, 2007). Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi 3 kelas, antara lain:
(1) Teori disiplin daya/disiplin mental (faculty theory).
Menurut teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang masing–masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan sejenisnya.
(2) Behaviorisme.
Dalam aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang mencakup teori koneksionisme/asosiasi, teori kondisioning, dan teori operant conditioning (reinforcement). Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang dapat dilihat dan diamati. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus – respon seoptimal mungkin. Tokoh utama teori ini yaitu Edward L. Thorndike.
(3) Organismic/Cognitive Gestalt Field.
Menurut teori ini keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran.
Belajar menurut teori ini bukanlah sebatas menghapal tetapi memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak didik dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada masing-masing anak didik yang pada akhirnya peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu kesimpulan bersama dari apa yang telah dipelajari.
b) Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis bersumber pada norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa sehingga tercipta nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat (Robandi, 2005: 26). Di dalam masyarakat terdapat struktur sosial dan dalam struktur tersebut setiap inividu menduduki status dan peran tertentu.
Sumantri dan Yatimah (2017) menjelaskan bahwa masyarakat dapat diidentifikasi melalui lima unsur yaitu:
a) adanya sekumpulan manusia yang hidup bersama,
b) melakukan interaksi sosial dalam waktu yang lama,
c) saling bekerjasama, memiliki keturunan, dan berbagai macam kebutuhan,
d) memiliki kesadaran sebagai suatu kesatuan atau unity,
e) suatu sistem hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan sehingga masing-masing individu merasa terikat satu sama lain.
Manusia pada hakikatnya sebagai makhluk bermasyarakat dan berbudaya, oleh karena itu masyarakat menuntut setiap individu mampu hidup demikian. Namun karena manusia tidak secara otomatis mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya maka masyarakat melakukan pendidikan atau sosialisasi dan atau enkulturasi.
Dengan demikian diharapkan setiap individu mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya sehingga tidak terjadi penyimpangan tingkah laku terhadp sisten nilai dan norma.
Dalam konteks pendidikan Menurut Bloom (1956) Manusia sebagai bagian dari masyarakat mengalami perkembangan perilaku individu yaitu pada kawasan kognitif, psikomotor, dan afektif. Kawasan kognitif adalah segala upaya yang mencakup aktivitas otak. Kawasan afektif mencakup segala sesuatu yang terkait dengan emosi misalnya perasaan, nilai, penghargaan, semangat, motivasi dan sikap.
Dan kawasan psikomotor meliputi gerakan dan koordinasi jasmani, keterampilan motorik dan kemampuan fisik. Pada kawasan kognitif terdapat tingkatan ranah belajar yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Pada kawasan afektif terdiri dari ranah yang behubungan dengan respons emosional terhadap tugas yaitu penerimaan, partisipasi, penilaian atau penentuan sikap, organisasi dan pembentukan pola hidup.
Pada kawasan psikomotor yang berkaitan dengan keterampilan jasmani terdiri dari ranah persepsi, kesiapan, gerakan yang terbimbing gerakan yang terbiasa, gerakan yang komplek, penyesuaian pola gerakan dan kreativitas.
Agar manusia mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya maka perlu ada keseimbangan antar kawasan kognitif, afektif dan psikomotor sebagai wujud dari pengembangan karakter. Pengembangan karakter dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan melalui pendidikan yang lebih menonjolkan kawasan-kawasan afektif dan psikomotor melalui penekanan bagaimana mengevaluasi perilaku, akhlak dan moral daripada menonjolkan kawasan kognitif semata.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat.
Ciri dari paham integralistik adalah (1) kekeluargaan dan gotong royong kebersamaan, musyawarah mufakat; (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat; (3) negara melindungi warga negaranya; (4) selaras dan seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara individu melainkan juga meningkatkan kualitas struktur masyarakatnya.
Kajian sosiologi tentang pendidikan pada dasarnya mencakup semua jalur pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan berlangsung dalam lingkungan keluarga, lingkungan perguruan/sekolah dan lingkungan masyarakat (Rahmat, 2012:52).
Ketiga lingkungan pendidikan tersebut memberi pengaruh yang dapat mengarah positif maupun negatif, sehingga lingkungan pendidikan berperan menjadi pusat berlangsungnya pendidikan untuk pertumbuhan dan perkembangan pesert didik. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga).
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi perkembangan individu anak, karena sejak kecil anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga. Awal pendidikan anak sebenarnya diperoleh melalui keluarga, dalam dunia pendidikan disebut pendidikan informal. Pembelajaran yang terjadi di dalam keluarga terjadi setiap hari pada saat terjadi interaksi antara anak dengan keluarganya. Peran orangtua menjadi panutan bagi anak-anaknya. Dalam keluarga, orangtua mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk dan mengembangkan karakter dan kepribadian anak.
Sekolah sebagai institusi sosial merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar secara formal atau disebut juga dengan pendidikan formal. Sekolah memiliki fungsi sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan (agent of change), sesuai dengan tuntutan zaman.
Sekolah berfungsi sebagai alat untuk mengintrodusir nilai-nilai baru yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat tanpa meninggalkan nilai lama yang perlu dipertahanlan agar dapat diadopsi oleh masyarakat, demi mengadaptasi perkembangan teknologi dan pengetahuan, yang pada akhirnya bertujuan agar kehidupan masyarakat lebih berkualitas.
Tugas utama sekolah yaitu berupaya untuk menciptakan proses pembelajaran secara efektif dan efisien untuk mengantarkan peserta didik mencapai prestasi yang memuaskan. Sekolah sebagai sistem sosial adalah suatu upaya untuk memahami tujuan, peran, hubungan dan perilaku berbagai komponen pendidikan di sekolah dalam setting sosial.
Terdapat dua elemen dasar sekolah sebagai sistem sosial yaitu (1) institusi, peran dan harapan dalam menentukan norma bersama atau dimensi sosial, (2) individual, personalitas dan pemenuhan kebutuhan yang merupakan dimensi psikologis. Sekolah sebagai sistem sosial diharapkan mampu mencapai moral kerja anggota organisasi yang efektif, efisien dan memuaskan melalui integrasi kebutuhan individu dan kebutuhan organisasi.
Masyarakat sebagai media transformasi sosial dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling berinterkasi dalam suatu hubungan sosial. Anak dalam pergaulannya di dalam masyarakat tentu banyak berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya anak bermain dengan teman-temannya di luar rumah, sedangkan secara tidak langsung misalnya anak melihat kejadian-kejadian yang dipertontonkan oleh masyarakat.
Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh proses pendidikan di sekolah dan tersedianya sarana prasarana, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan keluarga dan atau masyarakat sehingga pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah (sekolah), keluarga dan masyarakat. Hal ini berarti orang tua murid dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk ikut berpartisipasi dan memberikan dukungan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Terdapat hubungan saling menguntungkan antara sekolah dengan masyarakat yaitu dalam bentuk hubungan saling memberi, saling melengkapi, dan saling menerima sebagai partner. Sekolah pada hakekatnya mempunyai fungsi ganda terhadap masyarakat yatiu sebagai agen pembaharuan bagi masyarakat sekitarnya dan memberi pelayanan.
Dengan hubungan yang harmonis tersebut terdapat beberapa manfaat pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat yaitu
(1) memperbesar dorongan mawas diri yaitu pengawasan terhadap kualitas penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat melalui dewan pendidikan dan komite sekolah,
(2) meringankan beban sekolah dalam memperbaiki serta meingkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah,
(3) opini masyarakat terhadap sekolah alan lebih positif dan benar,
(4) meningkatkan upaya peningkatan profesi mengajar guru,
(5) masyarakat akan ikut serta memberikan kontrol/koreksi terhadap sekolah,
(6) dukungan moral masyarakat akan tumbuh terhadap sekolah sehingga memudahkan mendapatkan bantuan material dan penggunaan berbagai sumber termasuk nara sumber dari masyarakat.
Sedangkan bagi masyarakat dengan adanya hubungan yang harmonis antar sekolah dengan masyarakat maka (1) masyarakat/orang tua akan mengerti tentang berbagai hal yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan di sekolah, (2) keinginan dan harapan masyarakat dapat mudah disampaikan dan di realisasikan oleh pihak sekolah, (3) masyarakat mendapat kesempatan untuk memberikan saran usul, maupun kritik untuk membantu menciptakan kualitas sekolah.
c) Landasan Historis
Landan historis pendidikan nasional di Indonesa tidak terlepas dari sejarah bangsa indonesia itu sendiri. Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang sejak zaman Kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya bangsa lain yang menjajah serta menguasai bangsa Indonesia.
Dengan kata lain, tinjauan landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif. Pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang proses perjalanan pendidikan di Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di masa yang lampau.
Dilihat dari pendidikan di masa lampau Indonesia dapat dikelompokan menjadi enam tonggak sejarah (Robandi, 2005) yaitu (a) pendidikan tradisional yaitu penyelenggaraan pendidikan di nusantara yang dipengaruhi oleh agama-agama besar di dunia seperti Hindu, Budha, Nasrani dan Nasrani. (b) pendidikan kolonial barat yaitu penyelenggaraan pendidikan dinusantara yang dipengaruhi oleh pemerintah kolonial barat terutama kolonial Belanda (c) pendidikan kolonial jepang yaitu penyelenggaraan pendidikan dinusantara yang dipengaruhi oleh pemerintah kolonial jepang pada masa perang dunia II (d) pendidikan zaman kemerdekaan, (e) pendidikan zaman orde lama dan baru, (f) pendidikan zaman reformasi yaitu penyelenggaraan pendidikan dengan sistem pendidikan desentralisasi.
Kondisi historis dari keenam tonggak sejarah pendidikan tersebut mempunyai implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikannya dalam hal tujuan pendidikan, kurikulum/isi pendidikan, metode pendidikan dan pengelolaanya serta kesempatan pendidikan.
4) Landasan Religi
Landasan religi adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari religi atau agama yang menjadi titik tolak dalam rangka praktik pendidikan dan atau studi pendidikan (Hasubllah, 2008). Landasan religius ilmu pendidikan bertolak dari hakikat manusia yaitu (1) Manusia sebagai makhluk Tuhan YME; (2) Manusia sebagai kesatuan badan dan rohani; (3) Manusia sebagai makhluk individu, (4) Manusia sebagai makhluk sosial. Manusia adalah mahkluk Tuhan YME.
Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan konsekuensi fungsi dan tugas manusia sebagai khilafah dimuka bumi ini. Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran (consciousness) dan penyadaran diri (self-awarness). Oleh karena itu, manusia adalah subjek yang menyadari keberadaannya, ia mampu membedakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya (objek). Selain itu, manusia bukan saja mampu berpikir tentang diri dan alam sekitarnya, tetapi sekaligus sadar tentang pemikirannya.
Namun, sekalipun manusia menyadari perbedaannya dengan alam bahwa dalam konteks keseluruhan alam semesta manusia merupakan bagian daripadanya. Oleh sebab itu, selain mempertanyakan asal usul alam semesta tempat ia berada, manusia pun mempertanyakan asal-usul keberadaan dirinya sendiri.
Manusia adalah kesatuan jasmani dan rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu, serta mempunyai tujuan. Selain itu, manusia mempunyai potensi untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik, potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya.
Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan, dan keberagaman. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau berkomunikasi, memiliki historisitas, dan dinamika.
Agar manusia mampu menjadi khalifah yang baik maka memerlukan pendidikan. Pendidikan harus berfungsi memanusiakan manusia.
Pendidikan adalah humanisasi, sebagai humanisasi, pendidikan hendaknya dilaksanakan untuk membantu perealisasian/pengembangan berbagai potensi manusia, yaitu potensi untuk mampu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berbuat baik, hidup sehat, potensi cipta, rasa, karsa dan karya. Semua itu harus dikembangkan secara menyeluruh dan terintegrasi dalam konteks kehidupan keberagamaan, moralitas, individualitas, sosial dan kultural.
Dalam landasan religius, anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang harus dijaga dan dibina karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak-hak anak. Anak memerlukan pendidikan akhlak yang baik dalam proses tumbuh kembangnya. Jamaluddin (2012) memaparkan bahwa peran orangtua sangat penting dalam membentuk kepribadian anak pada masa yang akan datang.
Dalam rangka pencapaian pendidikan, setiap agama berupaya untuk melakukan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang, karena dengan terbinanya seluruh potensi manusia secara sempurna diharapkan ia dapat melakukan fungsi pengabdian sebagai khalifah di muka bumi. Potensi-potensi yang harus dibina meliputi seluruh potensi yang dimiliki, yaitu potensi spiritual, kecerdasan, perasaan dan kepekaan.
Potensi-potensi tersebut merupakan kekayaan dalam diri manusia yang berharga. Untuk itu, diperlukan pendidikan untuk membentuk manusia menjadi insan yang mendekati kesempurnaanatau memiliki kepribadian yang utama.
Pendidikan bagi anak berupaya untuk memberikan bimbingan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan masyarakat. Untuk mempelajari lebih lanjut tentang landasan ilmu pendidikan dapat diakses melalui link berikut:
Diatas adalah pembahasan singkat landasan ilmu pendidikan yang diterapkan Indonesia. Semoga saja bisa membantu.